Cerpen yang aku buat bulan ramadhan kemarin. Aku ikutin lomba LP3i. Tapi gak menang. Heheh
Yaudah di posting aja di blog. ^_^
Happy reading...
Nurma mendongakan kepalanya ke arah jam di depan kelas. Masih ada waktu 10 menit lagi sampai bel masuk berbunyi. Arah pandangnya berubah, ketika mendengar seseorang datang dari balik pintu kelas. Nurma langsung tersenyum sumringah begitu tau siapa yang datang.
"Hey!" sapa Nisa, teman semejanya seraya meletakkan tasnya di belakang kursi siswa "Hey, puasa nggak?" ujar Nurma berbasa-basi dan menunggu jawaban Nisa sampai ia selesai membenarkan posisi duduknya "Insya Allah, kamu?" tanya Nisa balik yang disertai anggukan semangat dari Nurma "Puasa dong" sahut Nurma bangga.
Dikeluarkannya buku dan alat tulis dari dalam tasnya kemudian dibacanya catatan-catatan pelajaran sosiologi minggu lalu. Nurma memang hobi akan itu, membaca terus membaca meski tak ada ulangan sekalipun
"Ngomong-ngomong gimana dengan jilbab?" Pertanyaan yang terlontar dari Nisa sekian detik yang lalu, membuat Nurma terhenyak dan berhenti membaca seketika. Nurma menengok bosan, Jilbab? lagi-lagi itu yang ditanyakan Nisa.
"Duuhh Nisaaa, gak bisa ya kalo setiap ketemu gak usah ngomongin soal jilbab" sahut Nurma. Sejujurnya ia merasa risih setiap Nisa mengungkit-ungkit hal itu. Meskipun Nurma telah menunjukkan galagat yang males, Nisa tetap keukeuh ngomongin soal jilbab.
"Aku kan cuma mau ngingetin, bagi wanita jilbab itu wajib loh hukumnya" Nisa tersenyum lebar sampai lesung pipinya terlihat jelas
"Iya iya, kamu udah bilang gitu ribuan kali Nis" Nurma terbingung sesaat, sebelumnya dia dan Nisa hanyalah siswa biasa yang tidak memakai jilbab. Namun meski begitu, mereka tetap menjalankan kewajiban sebagai umat islam. Mereka tetap berpuasa, solat, mengaji dan menghindari perbuatan tercela setiap saat.
Tapi, untuk sekarang ada yang berbeda, Nurma masih tetap Nurma yang dulu, sedangkan Nisa tidak. Temannya itu telah berkomitmen memakai jilbab semenjak 3 bulan yang lalu. Sedangkan dirinya? Belum dikasih hidayah seperti Nisa.
"Jilbab itu bukan ketaatan utama Nis, yang penting kan aku solat, puasa, zakat. Lagian hukum berjilbab tuh gak ada di rukun islam yang 5 utama itu" Ada keheningan sesaat yang terjadi diantara keduanya setelah Nurma membela pendiriannya.
Nisa tersenyum dan memandang temannya ramah "Kalau bukan perintah, kenapa Allah mensyariatkan itu?" Nisa menghela nafas sejenak "Bukannya itu sudah tersirat jelas di dalam Al-Qur'an dan al Hadits? Surat Al-A'raf, An-Nur, Al-Azhab kamu baca deh. Disitu kamu akan menemukan jawabannya. Dan satu hal lagi, solat, puasa, zakat seorang muslimah belum bisa sempurna tanpa hijab, Nur"
"Tapi kan.. Jilbab itu kuno, gak modis, old fashion gitu. Pakaian ibu-ibu pengajian, kayak kamu gini" debat Nurma tak gentar.
"Itu cara pandang kamu. Menurutku, muslimah yang memakai hijab jauh terlihat seperti bidadari surga. Just enjoy it. Berhijab juga banyak manfaatnya loh, sangking banyaknya kalo aku sebutkan aduh.. gak bakal selesai sampe pulang sekolah" jawab Nisa sambil terkekeh.
Nurma hanya mengernyitakan dahi, temannya ini sepertinya sudah bertransformasi jadi ustadzah. Sedikit bawel dalam hal menutup aurat.
"Huh, enggak ah, Nis. Panas makenya juga" Nurma berkilah "Lebih panas mana hayoo antara berhijab sama api neraka?" bisik Nisa terkekeh lagi. Yang ditanya hanya tertawa miris kemudian melengos, males kalo udah dikaitkan dengan api neraka apalagi adzab Allah.
====================
"Jadi gimana? Bisa?"
Nurma menimang-nimang permintaan bantuan dari teman OSIS seangkatannya itu. Dia bertanya-tanya, jabatannya di OSIS tidak begitu penting, hanya sebagai koordinator, tapi bagaimana bisa dia ditunjuk untuk perwakilan OSIS di acara buka bersama di masjid besar besok sore?
"Cuma kamu yang gak ada tugas, semua anggota OSIS udah punya jadwal tersendiri dari sekolah. Udah jalanin aja. Nggak bakal ditanya macem-macem kok" sahut Fauzi seolah-olah bisa membaca seluruh pikiran Nurma.
"Oke deh" Nurma mengiyakan dengan semangat. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Membantu orang lain dan membawa nama baik OSIS pasti pahalanya besar, apalagi ini bulan ramadhan.
Fauzi bisa bernapas lega "Acaranya besok sore, dan kamu harus pake jilbab"
"Hah?!!" Nurma jantungan seketika setelah ada kata 'jilbab' masuk dalam kedua telinganya. Sebentar ia mengeruk telinganya. Takut salah dengar.
"Iya jilbab. Gak tau jilbab? Itu loh kerudung" Fauzi melirik malas melihat ekspresi rekan OSISnya itu. Berlebihan memang, apa susahnya sih berjilbab?
"Iya, aku juga tau. Yaudah deh" Nurma mengangguk pasrah "Cuma sehari kan?" tanya Nurma memastikan, berjaga-jaga agar ini hanya acara biasa dan bukan kegiatan rutin. "Iya" sahut Fauzi mantap.
====================
Nurma merebahkan dirinya di ranjang. Acara buka bersama tadi sore itu sukses, sukses membuat kalbunya menjadi galau seketika. Bagaimana tidak? Sebagian besar orang yang datang tadi merupakan orang yang Nurma kenal. Dan setelah mereka semua melihat dirinya memakai kerudung, mereka langsung berasumsi bahwa Nurma memang telah berhijab. Mereka seketika memuji penampilan Nurma dan memberikan selamat kepadanya, tak ketinggalan Anna, sang ketua ekskul rohis.
"Nurma? Subhanallah! Ini beneran kamu" masih teringat jelas ketika Anna menepuk bahunya dan memeluknya erat. Sedangkan Nurma tidak tau harus berbuat apa. Ia tidak menyangka jika reaksinya akan sehebat ini. Sesungguhnya ia ingin berterus terang kalau dia belum berhijab, namun jika ia harus dipaksa jujur sekarang, pasti akan membuat Anna kecewa.
"Alhamdulillah, kamu dapet hidayah di bulan suci ini. Semoga istiqomah ya saudariku" ucap Anna seraya melepas pelukannya.
Ya Allah, semakin bersalah saja Nurma menyembunyikan rahasia ini. Nurma mengambil nafas panjang ketika mengingat kejadian tadi. Apakah ini peringatan Allah? Apakah sudah saatnya Nurma untuk berhijab?
Matanya menerawang jauh kembali, membayangkan beberapa adegan klise beberapa waktu lalu yang membuatnya lebih terkejut, yaitu ketika ia diminta pendapat sewaktu segmen berbincang-bincang dengan pak ustadz.
"Bagaimana tanggapan saudari Nurma, tentang pernyataan kebanyakan mengenai jilbab bukan sebagai parameter seorang muslimah yang taat?'' Sempat tergagap Nurma juga dibuatnya, dia agak linglung, rasanya dia belum pantas menjawab pertanyaan itu, karena ia tau sendiri, ia belum berjillbab. Dalam hati, ia berdo'a dan meminta tolong kepada Allah. Semoga dirinya tidak salah jawab.
"Jilbab memang bukan satu-satunya parameter atau indikator, namun hanya salah satunya. Tapi tetap saja nanti akan diperhitungkan Allah di akhirat. Jangankan perintah yang jelas seperti itu, atom, material paling kecil saja akan dipertanggung jawabkan nantinya"
Entah ada petunjuk apa, tiba-tiba nasihat-nasihat Nisa terlintas dipikiranya sehingga dengan mudah Nurma mengutarakannya. Setelah itu, Nurma mendapat apresiasi yang positif dari penonton. Ia tau dengan dirinya menjawab seperti itu, semakin kuatlah anggapan orang-orang mengenai jilbabnya.
Nurma memejamkan matanya sebentar, ia membayangkan waktu lain dimana ia dan Nisa duduk di taman yang sepi pengunjung. Waktu itu Nurma hanya iseng mengutak-atik ponselnya, sedangkan Nisa tengah berkutat dengan mushafnya.
"Nih, baca ayat ini.." Nisa mengulurkan mushafnya ke tangan Nurma seraya menunjuk ayat ke-25 dari surah An-Naba. Dengan wajah bertanya-tanya Nurma mengeja ayat itu "Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah”
"Itu...." ucapan Nurma tergantung
"Itu azab buat orang-orang yang melalaikan perintah Allah" ucap Nisa singkat
"Termasuk berhijab?" tanya Nurma yang kemudian mendapat anggukan dari Nisa.
Hening.
Nurma merenung hanya menatap genangan air hujan didepannya dengan datar . "Nis, aku khawatir, jika nanti aku berhijab, aku takut akan melepasnya lagi"
"Kuatkan niat dulu, Allah akan membimbing semua umatnya yang mau bertaubat kok. Justru kalo mikir kayak gitu, bisa-bisa kamu juga akan meninggalkan ajaran agama ini, bisa-bisa kamu gak solat, bisa-bisa kamu gak puasa. Jangan tergoda sama bisikan setan" jawab Nisa tenang
"Bener juga." gumam Nurma singkat. Nisa tersenyum lalu melanjutkan bacaannya lagi.
"Tapi nih ya denger-denger orang yang berjilbab susah juga buat nyari kerja, kalaupun keterima di perusahaan, nggak sedikit atasan yang menyuruhnya buka jilbab"
"Rezeki itu Allah yang ngatur, Nur. Kamu mau lebih taat sama Allah apa sama bos. Eh udah ashar nih, shalat yuk" Nisa mengakhiri ucapannya dan segera beranjak dari tempatnya
Nurma memejamkan matanya, kejadian beberapa waktu lalu itu, membuat pikirannya terserang vertigo kecil. Perintah Allah, petuah ibunya, ucapan Nisa. Dia membenarkan semua itu. Apakah ini hidayah? Nurma bangkit dari rebahannya. Jilbab yang ia gunakan semenjak buka bersama tadi, belum dilepas juga.
Dia salah, memakai jilbab ternyata tidak sepanas yang dia kira. Justru ia merasa seperti ada kenyamanan dan perlindungan dari kain itu. Dengan perlahan, ia berjalan menuju cermin dan menatap pantulan dirinya disitu.
Ia melepas jilbabnya sekian menit kemudian memakainya kembali. Dan ada perbedaan yang signifikan yang terasa. Dia lebih cantik jika berhijab. Dia terlihat lebih agamis dan anggun.
Tiba-tiba ponselnya bergetar, dan dilayarnya terlihat panggilan dari Fauzi. Nurma mendekatkan ponselnya ke telinganya.
"Assalamualaikum! Nur, besok dateng lagi ya ke acara buka bersama sekolah. Dan kamu juga diminta kepsek buat jadi salah satu pembicaranya" Ucap Fauzi tergesa-gesa tanpa jeda
"...."
"Tapi tenang, kali ini kamu gak wajib berjilbab kok" sahut Fauzi santai tanpa tahu bahwa perkataannya itu sedikit menggores luka di batin Nurma.
Dalam sekejap hati Nurma berdenyut sakit. Nurma terdiam bertanya, apakah dirinya serendah itu? Apakah dulu ia sebegitu keras menghindari jilbab, sehingga orang-orang menilai di salah. Tidak! Dia harus berubah menjadi lebih baik.
Tiba-tiba sesuatu yang hangat membasahi kedua pipinya. Nurma tersenyum dan mengucap syukur kepada Allah atas hidayah-Nya di bulan ramadhan ini.
"Baik, insya Allah aku datang, Zi. Tapi izinkan aku berhijab besok. wassalamualaikum" Nurma menutup ponselnya cepat tanpa menunggu Fauzi yang masih terheran-heran dengan ungkapan terakhirnya itu.
Senyumnya terulas dan disekanya air mata yang sedari tadi terus menerus keluar. Mulai sore ini, dibulan ramadhan yang suci penuh hidayah dan barakah ini, ia meniatkan diri bahwa ia akan berhijab.
TAMAT
Yaudah di posting aja di blog. ^_^
Happy reading...
Nurma mendongakan kepalanya ke arah jam di depan kelas. Masih ada waktu 10 menit lagi sampai bel masuk berbunyi. Arah pandangnya berubah, ketika mendengar seseorang datang dari balik pintu kelas. Nurma langsung tersenyum sumringah begitu tau siapa yang datang.
"Hey!" sapa Nisa, teman semejanya seraya meletakkan tasnya di belakang kursi siswa "Hey, puasa nggak?" ujar Nurma berbasa-basi dan menunggu jawaban Nisa sampai ia selesai membenarkan posisi duduknya "Insya Allah, kamu?" tanya Nisa balik yang disertai anggukan semangat dari Nurma "Puasa dong" sahut Nurma bangga.
Dikeluarkannya buku dan alat tulis dari dalam tasnya kemudian dibacanya catatan-catatan pelajaran sosiologi minggu lalu. Nurma memang hobi akan itu, membaca terus membaca meski tak ada ulangan sekalipun
"Ngomong-ngomong gimana dengan jilbab?" Pertanyaan yang terlontar dari Nisa sekian detik yang lalu, membuat Nurma terhenyak dan berhenti membaca seketika. Nurma menengok bosan, Jilbab? lagi-lagi itu yang ditanyakan Nisa.
"Duuhh Nisaaa, gak bisa ya kalo setiap ketemu gak usah ngomongin soal jilbab" sahut Nurma. Sejujurnya ia merasa risih setiap Nisa mengungkit-ungkit hal itu. Meskipun Nurma telah menunjukkan galagat yang males, Nisa tetap keukeuh ngomongin soal jilbab.
"Aku kan cuma mau ngingetin, bagi wanita jilbab itu wajib loh hukumnya" Nisa tersenyum lebar sampai lesung pipinya terlihat jelas
"Iya iya, kamu udah bilang gitu ribuan kali Nis" Nurma terbingung sesaat, sebelumnya dia dan Nisa hanyalah siswa biasa yang tidak memakai jilbab. Namun meski begitu, mereka tetap menjalankan kewajiban sebagai umat islam. Mereka tetap berpuasa, solat, mengaji dan menghindari perbuatan tercela setiap saat.
Tapi, untuk sekarang ada yang berbeda, Nurma masih tetap Nurma yang dulu, sedangkan Nisa tidak. Temannya itu telah berkomitmen memakai jilbab semenjak 3 bulan yang lalu. Sedangkan dirinya? Belum dikasih hidayah seperti Nisa.
"Jilbab itu bukan ketaatan utama Nis, yang penting kan aku solat, puasa, zakat. Lagian hukum berjilbab tuh gak ada di rukun islam yang 5 utama itu" Ada keheningan sesaat yang terjadi diantara keduanya setelah Nurma membela pendiriannya.
Nisa tersenyum dan memandang temannya ramah "Kalau bukan perintah, kenapa Allah mensyariatkan itu?" Nisa menghela nafas sejenak "Bukannya itu sudah tersirat jelas di dalam Al-Qur'an dan al Hadits? Surat Al-A'raf, An-Nur, Al-Azhab kamu baca deh. Disitu kamu akan menemukan jawabannya. Dan satu hal lagi, solat, puasa, zakat seorang muslimah belum bisa sempurna tanpa hijab, Nur"
"Tapi kan.. Jilbab itu kuno, gak modis, old fashion gitu. Pakaian ibu-ibu pengajian, kayak kamu gini" debat Nurma tak gentar.
"Itu cara pandang kamu. Menurutku, muslimah yang memakai hijab jauh terlihat seperti bidadari surga. Just enjoy it. Berhijab juga banyak manfaatnya loh, sangking banyaknya kalo aku sebutkan aduh.. gak bakal selesai sampe pulang sekolah" jawab Nisa sambil terkekeh.
Nurma hanya mengernyitakan dahi, temannya ini sepertinya sudah bertransformasi jadi ustadzah. Sedikit bawel dalam hal menutup aurat.
"Huh, enggak ah, Nis. Panas makenya juga" Nurma berkilah "Lebih panas mana hayoo antara berhijab sama api neraka?" bisik Nisa terkekeh lagi. Yang ditanya hanya tertawa miris kemudian melengos, males kalo udah dikaitkan dengan api neraka apalagi adzab Allah.
====================
"Jadi gimana? Bisa?"
Nurma menimang-nimang permintaan bantuan dari teman OSIS seangkatannya itu. Dia bertanya-tanya, jabatannya di OSIS tidak begitu penting, hanya sebagai koordinator, tapi bagaimana bisa dia ditunjuk untuk perwakilan OSIS di acara buka bersama di masjid besar besok sore?
"Cuma kamu yang gak ada tugas, semua anggota OSIS udah punya jadwal tersendiri dari sekolah. Udah jalanin aja. Nggak bakal ditanya macem-macem kok" sahut Fauzi seolah-olah bisa membaca seluruh pikiran Nurma.
"Oke deh" Nurma mengiyakan dengan semangat. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Membantu orang lain dan membawa nama baik OSIS pasti pahalanya besar, apalagi ini bulan ramadhan.
Fauzi bisa bernapas lega "Acaranya besok sore, dan kamu harus pake jilbab"
"Hah?!!" Nurma jantungan seketika setelah ada kata 'jilbab' masuk dalam kedua telinganya. Sebentar ia mengeruk telinganya. Takut salah dengar.
"Iya jilbab. Gak tau jilbab? Itu loh kerudung" Fauzi melirik malas melihat ekspresi rekan OSISnya itu. Berlebihan memang, apa susahnya sih berjilbab?
"Iya, aku juga tau. Yaudah deh" Nurma mengangguk pasrah "Cuma sehari kan?" tanya Nurma memastikan, berjaga-jaga agar ini hanya acara biasa dan bukan kegiatan rutin. "Iya" sahut Fauzi mantap.
====================
Nurma merebahkan dirinya di ranjang. Acara buka bersama tadi sore itu sukses, sukses membuat kalbunya menjadi galau seketika. Bagaimana tidak? Sebagian besar orang yang datang tadi merupakan orang yang Nurma kenal. Dan setelah mereka semua melihat dirinya memakai kerudung, mereka langsung berasumsi bahwa Nurma memang telah berhijab. Mereka seketika memuji penampilan Nurma dan memberikan selamat kepadanya, tak ketinggalan Anna, sang ketua ekskul rohis.
"Nurma? Subhanallah! Ini beneran kamu" masih teringat jelas ketika Anna menepuk bahunya dan memeluknya erat. Sedangkan Nurma tidak tau harus berbuat apa. Ia tidak menyangka jika reaksinya akan sehebat ini. Sesungguhnya ia ingin berterus terang kalau dia belum berhijab, namun jika ia harus dipaksa jujur sekarang, pasti akan membuat Anna kecewa.
"Alhamdulillah, kamu dapet hidayah di bulan suci ini. Semoga istiqomah ya saudariku" ucap Anna seraya melepas pelukannya.
Ya Allah, semakin bersalah saja Nurma menyembunyikan rahasia ini. Nurma mengambil nafas panjang ketika mengingat kejadian tadi. Apakah ini peringatan Allah? Apakah sudah saatnya Nurma untuk berhijab?
Matanya menerawang jauh kembali, membayangkan beberapa adegan klise beberapa waktu lalu yang membuatnya lebih terkejut, yaitu ketika ia diminta pendapat sewaktu segmen berbincang-bincang dengan pak ustadz.
"Bagaimana tanggapan saudari Nurma, tentang pernyataan kebanyakan mengenai jilbab bukan sebagai parameter seorang muslimah yang taat?'' Sempat tergagap Nurma juga dibuatnya, dia agak linglung, rasanya dia belum pantas menjawab pertanyaan itu, karena ia tau sendiri, ia belum berjillbab. Dalam hati, ia berdo'a dan meminta tolong kepada Allah. Semoga dirinya tidak salah jawab.
"Jilbab memang bukan satu-satunya parameter atau indikator, namun hanya salah satunya. Tapi tetap saja nanti akan diperhitungkan Allah di akhirat. Jangankan perintah yang jelas seperti itu, atom, material paling kecil saja akan dipertanggung jawabkan nantinya"
Entah ada petunjuk apa, tiba-tiba nasihat-nasihat Nisa terlintas dipikiranya sehingga dengan mudah Nurma mengutarakannya. Setelah itu, Nurma mendapat apresiasi yang positif dari penonton. Ia tau dengan dirinya menjawab seperti itu, semakin kuatlah anggapan orang-orang mengenai jilbabnya.
Nurma memejamkan matanya sebentar, ia membayangkan waktu lain dimana ia dan Nisa duduk di taman yang sepi pengunjung. Waktu itu Nurma hanya iseng mengutak-atik ponselnya, sedangkan Nisa tengah berkutat dengan mushafnya.
"Nih, baca ayat ini.." Nisa mengulurkan mushafnya ke tangan Nurma seraya menunjuk ayat ke-25 dari surah An-Naba. Dengan wajah bertanya-tanya Nurma mengeja ayat itu "Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah”
"Itu...." ucapan Nurma tergantung
"Itu azab buat orang-orang yang melalaikan perintah Allah" ucap Nisa singkat
"Termasuk berhijab?" tanya Nurma yang kemudian mendapat anggukan dari Nisa.
Hening.
Nurma merenung hanya menatap genangan air hujan didepannya dengan datar . "Nis, aku khawatir, jika nanti aku berhijab, aku takut akan melepasnya lagi"
"Kuatkan niat dulu, Allah akan membimbing semua umatnya yang mau bertaubat kok. Justru kalo mikir kayak gitu, bisa-bisa kamu juga akan meninggalkan ajaran agama ini, bisa-bisa kamu gak solat, bisa-bisa kamu gak puasa. Jangan tergoda sama bisikan setan" jawab Nisa tenang
"Bener juga." gumam Nurma singkat. Nisa tersenyum lalu melanjutkan bacaannya lagi.
"Tapi nih ya denger-denger orang yang berjilbab susah juga buat nyari kerja, kalaupun keterima di perusahaan, nggak sedikit atasan yang menyuruhnya buka jilbab"
"Rezeki itu Allah yang ngatur, Nur. Kamu mau lebih taat sama Allah apa sama bos. Eh udah ashar nih, shalat yuk" Nisa mengakhiri ucapannya dan segera beranjak dari tempatnya
Nurma memejamkan matanya, kejadian beberapa waktu lalu itu, membuat pikirannya terserang vertigo kecil. Perintah Allah, petuah ibunya, ucapan Nisa. Dia membenarkan semua itu. Apakah ini hidayah? Nurma bangkit dari rebahannya. Jilbab yang ia gunakan semenjak buka bersama tadi, belum dilepas juga.
Dia salah, memakai jilbab ternyata tidak sepanas yang dia kira. Justru ia merasa seperti ada kenyamanan dan perlindungan dari kain itu. Dengan perlahan, ia berjalan menuju cermin dan menatap pantulan dirinya disitu.
Ia melepas jilbabnya sekian menit kemudian memakainya kembali. Dan ada perbedaan yang signifikan yang terasa. Dia lebih cantik jika berhijab. Dia terlihat lebih agamis dan anggun.
Tiba-tiba ponselnya bergetar, dan dilayarnya terlihat panggilan dari Fauzi. Nurma mendekatkan ponselnya ke telinganya.
"Assalamualaikum! Nur, besok dateng lagi ya ke acara buka bersama sekolah. Dan kamu juga diminta kepsek buat jadi salah satu pembicaranya" Ucap Fauzi tergesa-gesa tanpa jeda
"...."
"Tapi tenang, kali ini kamu gak wajib berjilbab kok" sahut Fauzi santai tanpa tahu bahwa perkataannya itu sedikit menggores luka di batin Nurma.
Dalam sekejap hati Nurma berdenyut sakit. Nurma terdiam bertanya, apakah dirinya serendah itu? Apakah dulu ia sebegitu keras menghindari jilbab, sehingga orang-orang menilai di salah. Tidak! Dia harus berubah menjadi lebih baik.
Tiba-tiba sesuatu yang hangat membasahi kedua pipinya. Nurma tersenyum dan mengucap syukur kepada Allah atas hidayah-Nya di bulan ramadhan ini.
"Baik, insya Allah aku datang, Zi. Tapi izinkan aku berhijab besok. wassalamualaikum" Nurma menutup ponselnya cepat tanpa menunggu Fauzi yang masih terheran-heran dengan ungkapan terakhirnya itu.
Senyumnya terulas dan disekanya air mata yang sedari tadi terus menerus keluar. Mulai sore ini, dibulan ramadhan yang suci penuh hidayah dan barakah ini, ia meniatkan diri bahwa ia akan berhijab.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar